Kamu
telah berhasil mengunci rapat hatiku, tak membiarkanku mencintai pria
manapun selain kamu. Kamu jahat! Selama hampir 6 tahun ini kau menyiksa
hatiku, dan sialnya kau tak pernah tau.
Aku
termangu menatap layar ponsel yang tergeletak di sampingku. Mencoba
mencerna kembali kata-kata yang disampaikan Raya lewat pesan singkatnya
yang ia kirim sore tadi.
Riaaaaaa……Efan ada di Bali !
Aku membacanya berulang-ulang dan bahkan belum sempat membalas sms Raya. Fikiranku melayang, mengingat kejadian 6 tahun lalu.
Hari
Valentine yang dikatakan orang sebagai hari kasih sayang, aku
mempercayainya hingga sekarang. –Valentine dan cokelat– ya, dihari itu
seseorang akan memberi cokelat pada orang yang dikasihinya.
Enam
tahun silam, tepatnya 14 februari 2007. Aku memberikan sebatang cokelat
dan sepucuk surat tanpa nama pada seseorang yang ku taksir. Efan
namanya, dia kakak kelasku saat aku kelas 2 SMA. Dia atlet futsal di
sekolahku, tubuhnya tinggi kurus, berkulit putih, memiliki hidung mancung dan sangat mempesona. Tak heran jika banyak siswi cantik menggandrungi
sosoknya. Namun kepribadiannya yang pemalu dan dingin tetap terlihat
santai menanggapi semua itu.
Efan sangat setia pada kekasihnya, ya, aku tahu betul perihal itu, ia dan
kekasihnya –mereka– satu kelas. Aku menitipkan cokelat dan surat itu
pada Raya temanku yang kebetulan rumahnya satu komplek dengan Efan.
“Gimana reaksinya?” Tanyaku pada Raya keesokan harinya
“Dia bengong, terus nanya dari siapa.”
“Tapi gak bilang dari aku kan?”
“Enggak
lah! Eh, tapi dia bilang makasih.” Kata Raya. Genderang di hatiku
bertalu begitu kencang. Baru pertama kali aku menyatakan perasaan
cintaku pada pria. Meskipun surat itu tanpa nama dan Efan takkan tau
cokelat itu dari siapa, kecuali jika Raya membocorkannya.
Beberapa bulan kemudian Raya membawa angin segar yang membuat jantungku berdetak tak karuan.
“Kayanya dia udah tau deh!” Kata Raya
“Maksudnya?”Kataku. Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi padaku akhir-akhir ini. “Efan?” Tebakku.
“Dia udah tau deh! Tulisan kamu, dia cari tau kamu lewat tulisan di surat itu!” Kata Raya.
Oh,
bodoh, minggu lalu aku membuat puisi dengan tulisan tangan dan
menempelkannya di mading sekolah. Aku berlari menuju mading sekolah
untuk memastikan bahwa aku tidak mencantumkan namaku. Ria Maria. Ah,
sial. Jelas-jelas namaku terpampang disudut kanan bawah kertas.
Malamnya ponselku bergetar, ada pesan masuk dari sederet nomor asing.
:Hey Tulisnya. Tanpa fikir panjang aku mereply pesan itu: Siapa? Tulisku. Beberapa lama kemudian ada balasan dari nomor yang sama: Efan
Tulisnya. Aku tercekat, beberapa kali aku mempertajam penglihatanku.
Mataku melotot seolah hendak copot dari kelopaknya. Belum sempat aku
membalasnya. Ponselku bergetar lagi :Makasih buat cokelatnya. Tulisan teakhir itu membuat seluruh badanku bergetar, kini perutku ikut-ikutan sakit saking bahagianya.
***
Aku
mengambil ponselku yang sedari tadi tergeletak. Memilih menu Aplikasi
dan membuka akun fesbukku. Ya, terkadang teman di dunia maya lebih setia
dan peduli padaku, mereka lebih real dibanding teman di dunia nyata.
Haruskah
aku mengingatmu kembali. Yang telah lama pergi membawa cintaku.
Bertahun-tahun ini sepi, hampa dan aku telah kehilangan rasa cinta. Kau
hadir, membawa serpihan luka lama. Oh, aku ingin melupakanmu. Tapi
sulit.
Tak lama kemudian sebuah komentar dari Raya singgah di statusku yang baru saja di update.
Dia di Bali, kuliah di Bali, nanti aku salamin ya Ri
Tidak
bisa kupungkiri, aku masih mengharapkannya. Aku masih mencintainya.
Selama hampir 6 tahun aku menyimpan dan menyembunyikan perasaan ini.
Disaat
orang lain begitu mudahnya berganti-ganti kekasih. Aku tetap setia pada
ketidakpastian ini. aku semakin menikmati kesendirianku dan membuka
hati merupakan hal tersulit dalam hidupku. Kondisi seperti ini yang
membangun karakterku sebagai seorang penyendiri.
Sejak malam disaat Efan mengirim pesan padaku. Kami menjadi lebih akrab, menjalin komunikasi lewat sms –meski tak bertemu langsung–. Semuanya berlangsung hingga kelulusan Efan tiba.
“Selamat Ka” Kataku
“Makasih ya”
“Meskipun Kaka ga sekolah disini lagi, aku bakal tetep sayang sama kaka”
“Aku juga sayang sama kamu” Kata Efan. “Seperti sayang sama ade sendiri” Lanjutnya
Glek. Selama ini Efan hanya menganggapku adik. Bahkan dia tidak melihat betapa besarnya cinta yang tersembunyi di balik hatiku.
Aku
tak melihatnya lagi di sekolah, tak menyaksikan aksinya menendang bola,
tak ada senyum tipisnya. Benar-benar tak ada Efan dihidupku. Bahkan
aku tak bisa menghubunginya lagi. Apa
masih ada setitik ruang dihatimu untukku. Untukku singgah. Melabuhkan
rindu yang tak sempat tersampaikan. Rindu yang tak berhujung untukmu.
***
Efan: 0818011xxxxx
Pesan
terakhir dari Raya semakin membuatku tak bisa tidur. Padahal aku tak
punya riwayat Insomnia dan dua bulan terakhir ini telah berhenti menjadi
pecandu kopi.
23.45 WIT
Aku
merogoh ponselku dan mencoba menghubungi nomor pemberian Raya. Nut nut
nuuut. Nada sambung itu membuatku gemetar dan nyaris hilang kesadaran.
“Halo” Suara dari seberang sana terdengar merdu dan lembut “Siapa?”
“Ia. Aku Ria Maria. Seseorang yang terlupakan, mungkin”
“Ria? Ria Maria?” Efan mengulang-ulang namaku dan terdiam sejenak “Ria Maria? Cokelat kan? Hey! Apa kabar?” Tanya Efan antusias.
Rinduku tumpah, tumpah padamu. Kau masih sedatar dahulu mengartikan kegugupanku. Kau tak pernah pahami isyarat ini.
24.30 WIT
Kami
masih ngobrol lewat telepon. Banyak hal yang ingin ku sampaikan, tapi
terhenti di kerongkongan. Kami hanya membahas masa lalu kami dan masa
sekarang. Tak ada sedikitpun kata rindu yang terucap dari bibirku. Aku
tetap memendamnya, malam ini aku hanya ingin mendengar suaranya.
“Hey. Ko diem? Jangan-jangan kamu tidur Ri?” Tanya Efan
“Ah, sedikit ngantuk aja ka.” Jawabku
“Tidur gih! Udah malem.”
“Ok, aku pamit ka. Salam buat pacar kamu.” Kataku dengan hati-hati
“Pacar? Aku ga punya pacar Ri. Mau Fokus sama kuliah dulu.”
Mendengar
pernyataan itu. Darahku mendesir lebih cepat. Dia sendiri, tak memiliki
kekasih. Malam ini kebahagiaan menghantarku pada mimpi indah.
***
kamis14 Februari 2013
Hari
valentine tiba, ini valentine ke tujuh Efan mengenalku. Selama tujuh
momen ini, aku memberi cokelat dan menulis surat untuk Efan. Hanya
cokelat dan surat pertama yang sampai ke tangan Efan. selebihnya tidak
sama sekali.
Aku
berjanji akan merubah nasib setelah valentine ke tujuh ini. Ini yang
terakhir aku mengirimkan cokelat dan surat untuk Efan. Setelah ini aku
akan membuang jauh-jauh nama Efan dari ingatanku.
“Halo, Ri. Kamu disebelah mana?” Tanya Efan disambungan telepon
“Aku duduk pake baju ungu dekat air mancur.” Jelasku
Tak
lama kemudian, seorang pria tinggi, putih dan tampan menghampiriku.
Sekejap jantungku berhenti berdegup. Aku tak bisa bernafas. Sungguh, ia
masih mempesona seperti dahulu. Bahkan lebih. Inikah pria yang selalu
kurindukan, pria yang tak membiarkanku berpaling darinya.
“Ri ko bengong?” Tanya Efan mengaburkan lamunanku
“E, eh, Efan?” Kataku kikuk
“Hai, udah lama?”
“Lumayan”
“Nih!” Efan memberiku cokelat yang terbungkus kertas merah muda dan
dipercantik dengan pita merah muda.”Ini buat kamu Ri! Makasih buat cokelat
yang waktu itu.” Lanjutnya
“Oh, ga perlu repot-repot kali ka”
“Ga apa-apa. Ri, aku ga bisa lama. Harus balik ke kampus lagi.”
“Ya udah. Makasih udah mau nemuin aku. Makasih juga cokelatnya.”
“Ok. Kamu cantik Ri! Lebih dewasa dan…..”
“Dan apa?” Potongku
“Manis” Kata Efan mengakhiri pertemuan kita.
Ia
melihatku dengan pandangan yang tak biasa. Memang, semenjak aku tumbuh
dewasa dan saat lemak bayi di tubuhku perlahan hilang, banyak pria
dewasa memandangiku aneh. Dan aku akan segera menjauh dari pandangan
mereka.
Dia
memberiku cokelat di valentine ke tujuh. Mengapa baru sekarang? Disaat
aku berniat melupakannya. Aku memasukkan cokelat pemberian Efan ke
dalam tasku dan merogoh cokelat dan surat yang seharusnya kuberikan pada Efan.
Seperti
biasa, seperti valentine-valentine sebelumnya. Aku menaruh cokelat dan
surat itu sembarangan di bangku taman kota Denpasar. Aku
menghabiskan hari valentine dengan berdiam diri di taman kota. Tempat
yang ramai, sangat ramai dengan hiruk pikuk manusia yang takkan
mempedulikan aku yang tengah sendiri dan kesepian.
“Sekarang valentine ke tujuhmu bukan?” Seorang pria yang lebih sempurna dari Efan, pria bermata dalam itu tiba-tiba duduk di sampingku tanpa permisi.
“Dari mana kamu tau?” Tanyaku
“Mungkin
ini yang ke empat kalinya aku menemukan cokelat dan surat cinta
tergeletak begitu saja di sini” Kata pria itu “Aku menyimpan
surat-suratmu dan cokelatnya habis ku makan. Aku Bayu. Kamu pasti Ria Maria?” Lanjutnya
“Ya” Kataku datar menyalaminya “Selama ini kamu yang nemuin cokelatku?” Lanjutku
“Yup
dan selama itu aku ga berhenti memikirkan kamu. Aku mencintaimu lewat
surat dan puisi mu. Mungkin ini aneh, ya. Menurutku ini sangat aneh”
“Mencintaiku? Bahkan kita ga pernah ketemu sebelumnya.” Kataku heran
“Justru itu, ini sangat aneh. Aku ga berhenti mikirin cewek iseng yang tiap valentine naruh cokelat dan surat cinta di sini!”
“Iseng katamu?”
“Apalagi? Mau aku sebut gila? Kamu terlalu cantik buat jadi orang gila!”
“Orang gila? Makin ga waras kamu!” Aku pergi meninggalkan pria itu dengan cokelat dan surat untuk Efan
“Hey!
Aku suka kamu! Aku akan bantu kamu lupain cowok itu!” Teriaknya membuat
orang-orang di sekitar Taman menoleh padaku. Kini kami menjadi
pusat perhatian ketika Pria itu nekat menaiki bundaran air mancur yang
terletak di pusat taman.
“Aku suka kamu Ria Maria!” Teriaknya lebih keras.
Aku
memendam malu sekaligus mengulum senyum melihat aksi nekat cowok tampan
itu. Kini aku tersenyum, setelah sekian lama menjalani hidup hambar. Bayu namanya. Pria yang selalu memikirkan aku meski tak pernah tau
siapa dan bagaimana aku.
Valentine Ke Tujuh…
Ini valentine ke tujuh. Tak bisakah kau mencintaiku hari ini? Jika bukan hari ini. Aku terpaksa melupakanmu.
Ini valentine ke tujuh. Tak bisakah kau akhiri rinduku hari ini? Jika bukan hari ini. Aku terpaksa takkan merindukanmu lagi.
End
* pluie narrateur *
By : shasih_minyung
1 komentar:
Ternyata oh ternyata :p
Like like like :)
Post a Comment