Wednesday, January 23, 2013

8....9....10....UDAH BELOM ?

Diposkan oleh Unknown di 11:52 PM




KRING... kring,,,, kering ada sepeda , spedaku roda dua...
sambil mengayuh sepeda aku , Aku yang baru berumur lima tahun menyanyikan lagu favoritku itu. Sepeda melaju asyik , lalu membelok ke kiri.Tapi kemudian..... dari arah berlawanan... muncul sepeda yang dikemudikan Roni, Tetangga aku, aku jadi gugup . Tabrakan tak dapat dihindari. Sepeda ku jatuh menutupi sepeda Roni !
Roni meringis kesakitan. Lengannya tergores batu di pinggir jalan. Aku yang melihat darah keluar dari luka Roni hanya bisa ikut-ikutan meringgis, seakan ikut merasa sakit.
“Aduh .... “ keluh Roni sambil melihat lengannya sendiri. Dan begitu melihat darahnya tak kunjung berhenti mengalir, sontak tangis Roni pecah.
Tiga anak lain tiba-tiba mengerumuni kami  dan menyoraki aku dangan polos.
“hayaoo,, sha !”
“sha jahat s
ih! Sha jahat !”
“Roni berdarah gara-gar kamu sih !”
“hayo..sha! hayoo, sha!”
Aku panik . dan mulai celingak –celinguk, mengharapkan seseorang datang untuk membelaku.tapi teman-teman yang disekelilingku justru makin keras menyalahkan aku atas kecelakaan barusan.
Tangis Roni makin keras.aku makin panik. Dan tanpa menunggu lama , tangis ku pun ikut-ikutan pecah. Aku menangis sekeras mungkin, berharap papa dan mamaku mendegar dan menyelamatkanku dari ledekan teman-teman yang juga masih seumuran dengan ku .
Aku mengis bukan sebagai ungkapan rasa bersalah, melainkan ungkapan rasa takutku yang besar. Lagi pula , apa sih yang diharapkan dari seorang gadis kecil berumur enam tahun yang tanpa sengaja menabrak sepeda teman nya sendiri ? Mungkin memang hanya tangis yang bisa mengungkapkan  kata “maaf “.
Melihat aku mengis , anak-anak yang lain langsung berhenti menyoraki, takut disalahkan. Roni yang awalnya mengis karena kesakitan , tiba-tiba menghentikan tangisnya karena bingung melihat aku. Dia yang sakit , kok aku yang ikut-ikutan menagis ?
“kamu kenapa ?” tanya Roni polos.
Aku menatap Roni sesaat. Setelah itu aku malah kembali mengis lebih keras !
Roni makin bingung. Dia mulai panik . “kamu apanya yang sakit ?” tanya Roni sambil menyentuh bahu ku.
Aku menggeleng sambil menunjuk luka di lengan Roni. Roni cepat-cepat mengelap darah di lenganya dengan bajunya. Entah ke mana hilangnya rasa sakit karena luka itu. Saat itu yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana caranya menghentikan tangisku.
“udah nggak sakit kok. Kamu jangan nangis lagi dong..,” kata  Roni sambil tersenyum, mencoba menghiburku.
Temanku yang lain sampai terpaku dan serempak mendekati Roni. Mereka menunjuk luka gores di lengan Roni yang masih mengeluarkan darah segar.
“itu engak sakit?” tanya diah salah satu temanku dengan wajah superpolos.
Roni menggeleng yakin. “enggak!”
“wah hebat!”  seru temen-temen yang lain sambil tepuk tangan.
Roni tersenyum bangga. Aku yang melihat Roni sudah sehat kembali refleks menghentikan tangis. Perlahan aku ikut tersenyum, sepolos teman-teman yang lain.
***
Sore itu langit masih secerah kemaren. Daun –daun yang bergoyang tertiup angin menambah sejuknya udara yang diisi canda tawa ku dan teman-teman yang sedang bermain dengan riangnya kami bermain kejar-kejaran, persis di depan rumah ku .
Tanpa sengaja aku menabrak Roni dari belakang . refleks Roni terjatuh ke atas aspal. Lututnya terluka dan mengeluarkan darah segar. Roni menangis dengan keras, lukanya mungkin terasa perih.
Melihat Roni menagis , teman-teman yang lain kembali menyoraki aku . dan benar-benar nggak butuh waktu lama untuk membuat aku yang memang masih kecil dan jelas bermental lemah ini menangis.
shasih jahat ! shasih jahat!” seru teman-teman lain dengan nada kompak.
Roni meniup-niup lututnya untuk menghilangkan rasa perih.” Jangan nagis lagi dong, sha! yang sakit kan aku !” kata Roni polos, yang ternyata berhasil membuat aku terdiam.
Aku yang memang merasa bersalah , langsung membantiu Roni meniup-niup lutut.”sakit, ya ?” tanyaku penasaran.
Roni mengangguk yakin.”iya.”
“rasanya gimana?” tanyaku polos.
Roni terdiam sesaat, berusaha merasakan  luka yang ada di lututnya itu. “rasanya...kayak  ada yang nusuk-nusuk.”
“iiihh! Jangan-jangan ada jarumnya!” seru ku panik.
“Nggak kok! Nggak ada jarumnya ! nanti kalo udah sembuh, nusuk-nusuknya juga hilang,” jawab Rino yang baru berumur  tujuh tahun .ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri juga, sambil terus meniup lututnya yang lecet.
“ooOoOh gitu, ya udah, aku tiupin ya,,!” seru ku riang,seakan lupa akan tangisan ku barusan. Lupa bahwa sebenarnya akulah yang membuat Roni terluka.
***

“Aku ngga mau main sama shasih!” seru wiwit, teman-teman yang lain langsung mengguk,
“iya nih, kalo deket=deket kamu, nanti aku bias kamu tabrak juga!”
Aku terdiam , sedih. Memang nya segitu berbahayanya kah aku sampai temen-temenku nggak mau bermain lagi denganku?
Shasih jahat sih ! kemaren aja Roni berdarah!”
Aku menundukkan kepala. Mataku mulai basah. Bibirku bergetar menahan tangis. Aku memang bersalah, sudah dua kali membuat Roni terluka. Tapi bukan berarti aku sengaja, kan ? bukan berarti aku berbahaya, kan ? aku hanya ingin main. Itu saja kok.
            Nggak ada yang meladeniku. Anak-anak yang lain memulai permainan tampa aku. Perlahan aku membalikkan badan dan berjalan pulang. Tapi baru beberapa langkah, Roni sudah muncul di hadpanku dengan senyum polos.
            “sha main sama aku yuukz,,!” kata Roni sambil mengenggam tanganku.
Aku menatap Roni dengan takjub. Kukucek mataku dengan punggung tangan. Saat aku membuka mata dan melihat senyum Roni yang masih terpampang di hadapanku, aku pun kembali bersemangat.
            “main apa ? “ tanyaku sambil tersenyum riang.
            “hmm…. Main apa yaa ,,,, ?” Roni menimbang-nimbang. “Gimana kalo petak umpet ?” cetusnya.


aku langsung senyum sumringah. “ayo! Tapi kamu yang jaga , ya ?” ujarku polos.
            Roni merengut kecil. “kok aku yang jaga?”
            “kamu kan cowok!” sahutku asal.
roni termangu sesaat. Sebenarnya ia masih tidak mengrti mengapa cowok yang harus jaga. Tapi karena tidak mau buang-buang waktu lagi, akhirnya dia mengangguk setuju.
Berlahan Roni berbalik memunggungiku. Sesuai  peraturan , aku menyentuh punggung Roni dengan salah satu jariku. Roni berbalik menghadap ku.
            “yang ini,” ujarnya sambil menunjuk jari telunjuk ku.aku mengeleng.
“yang ini …” kali ini Roni menunjuk jari tengah ku . aku kembali menggeleng
“heemmm ..” Roni menebak-nebak “ yang ini !’’ sambil menyentuh kelingkinku.
Aku tersenyum senang. Akhirnya permainan bisa dimulai setelah Roni berhasil memilih jari yang tepat. Roni  menyandarkan lengan ke tembok rumahku , lalu memejamkan mata.
            “Roni!” panggilku, membuat Roni kembali menoleh padaku.
            “apa?” Tanya Roni bingung.
“kamu nggak takut main sama aku?”
Roni mengerutkan kening.”takut apa?”
Takut aku bikin kamu berdarah lagi …,” kata ku tanpa berani menatap Roni.
Roni menggelengkan kepala dengan yakin. “nggak kok!”
aku tersenyum lega. “ kamu bakal cari aku sampai ketemu, kan ?” tanyaku sambil bersiap-siap lari dan bersembunyi.
“pasti aku temuin!” seru Roni, nggak sabar untuk memulai permainan. “aku hitung ya! Satu…dua…”
Aku langsung berlari sejauh mungkin dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Dari jauh masih terdengar samar-samar suara Roni yang sedang menghitung. Aku makin bersemangat. Aku terus berlari ke dekat taman yang terletak di ujung jalan. Dengan gesit aku bersembunyi dibalik semak yang di tata rapi di taman itu. Hatiku berdebar kencang, antara takut ketahuan dan senang.
“Delapan….sembilan….sepuluh….! udah blom?”  seru Roni di akhir hitungannya.
Tampa menunggu lebih lama, Roni membuka mata dan celingak-celinguk mencari sosok ku . kondisi dijalan masih di penuhi anak-anak lain yang juga sedang bermain. Roni makin bersemangat mencari aku. Didatanginya setiap rumah tetangga yang pintu pagarnya terbuka.Dilemparkannya pandangan ke setiap celah .
            Setengah jam telah berlalu. Jalanan pun mulai terlihat sepi. Anak-anak satu persatu pulang ke rumah masing-masing . Roni mulai gelisah. Pasalnya sebentar lagi magrib. Menurut mitos , saat magrib anak-anak pantang berada di luar rumah. Katanya sih bakal di culik  sama mahluk gaib. Tapi menurut para ahli , saat matahari terbenam merupakan pergantian udara dari siang ke malam. Jadi memang nggak bagus untuk tubuh.
            Roni masih celingak-celinguk mencari sosok ku. Ia tampak gelisah . “sha!” serunya keras, berharap aku keluar dan menyudahi permainan.
saat ini yang ada di pikirannya bukan lagi menang-kalah. Ia hanya ingin segera menemukan aku karena hari mulai gelap. Dengan panik, Roni berlari kea rah taman. Nalurinya berkata aku bersembunyi di situ.
“shaaaa!” serunya lebih keras.
dari balik semak, aku tertawa kecil. Aku bias melihat sosok Roni yang sedang kebingungan mencariku. Aku terus mengawasi dengan dada berdebar. Aku sudah siap-siap bila Roni sudah menemukanku.
            Roni berjalan ke arahku . tinggal beberapa langkah lagi, tetapi…..
“Roni ! ayo pulaang!” seru seseorang dari tepi taman. Roni menoleh cepat . “ Tapi Sha….”
“Ayoo pulang!” seruu Bi Odah, wanita pengasuh Roni itu degan nada lebih tinggi. “ nanti dimarahi mama lho!
Besok pagi kan kita mau pindah rumah… “
             Roni kebingungan. Dia takut dimarahi mamanya karena pulang kesorean.
“ayo!” kata Bi Odah sambil menggandeng tangan Roni dan mengiringnya pulang.
Aku melihat sosok Roni yang kebingungan dan tak berdaya. Roni makin menjauh di taman, sampai akhirnya menghilang di belokan jalan. Pikiranku yang polos membuatku tetap menunggu. Yap, aku menunggu Roni untuk menemukanku.
Setengah jam pun berlalu. Hari semakin gelap. Pasukan nyamuk mulai menyerang tubuh ku. Aku mulai cemas. Aku masih menunggu Roni , karena aku yakin  Roni mencariku. Lagi pula, selain Roni, siapa lagi temanku yang harus aku percaya?.
            Waktu terus berjalan . aku makin panik. Orang tuaku pasti sedang mencariku sekarang . tapi aku takut beranjak dari tempat persembunyianku ini. Apa lagi taman sudah mulai gelap, hanya di terangi cahaya dari beberapa lampu taman yang berbentuk bulat.
Tanpa sadar aku pun menagis . tapi tangisanku kali ini nggak sekeras biasanya, aku menagis berlahan , nyaris tidak mengeluarkan suara. Satu hal yang aku rasakan hatiku terasa perih. Ada rasa takut yang luar biasa melandaku. Ingin rasanya ku mengis keras-keras , tapi suara ku tersekat. Mataku basah. Pundakku naik turun dan tidak beraturan
Aku ingin pulang tapi kaki ku tidak mau bergerak. Aku berharap seseorang akan menemukan ku . aku ingin  Roni kembali dan membawaku pulang ke rumah . tapi rasanya sia-sia saja. Mungkin memang tidak aka ada orang yang akan menemukanku.
“kamu tidak apa-apa?”
tangisku berhenti. Berlahan  aku mendongakkan kepala, melihat si pemilik suara tadi. Mata ku membesar aku tidak mengenal anal laki-laki di hadapanku ini. Anak lelaki ini berdiri menatapku. Kalau dilihat dari umurnya anak ini paling baru kelas 2 SD.
            “rumah kamu dimana ?” Tanya dia ramah.
Aku masih menatapnya bingung. Berlahan rasa takutku berkurang . aku tidak menagkap niat jahat dalam diri laki-laki ini. Yang aku tau seorang telah menemukanku, dan aku ingin pulang.
            “Di sana…, “ kata ku, sambil menunjuk ke arah jalan.
Anak cowok itu menoleh sekilas kea rah jalan dan kembali menatap ku yang masih jongkok di antara semak-semak. Perlahan dia tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan.
            “ayo pulang….aku Antar…”


            B E R S A M B U N G

By:shasih_minyung 

Twitter :@riashasih

0 komentar:

Post a Comment

 

"Tidak ada akhir cerita yang sempurna" Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea